Selasa, 21 Oktober 2014

Aduh Bapak Sayange



         Pagi ini siswa-siswi SMP Nusa Dua berangkat sekolah dengan riang dan gembira. Pelajaran berlangsung seperti halnya hari-hari biasa, serius dengan disisipi bercandaan. Setelah 3 jam pelajaran berlalu, bel istirahat pun berbunnyi.
               Siswa-siswi beristirahat bersama teman-teman mereka. Yang rajin, ada yang beranjak ke perpustakaan. Yang kelaparan ada yang beranjak ke kantin. Yang belum mengerjakan PR pun senantiasa mencari contekan kesana kemari.
            Seusai beristirahat, mereka pun melanjutkan pelajaran. Namun, ada yang berbeda di kelas itu. Kira-kira ada apa, ya?

Ama       : “Selamat pagi, Murid-murid”
Semua   : “Selamat pagi, Bu!”
Ama       : (menatap sekeliling) “Lho? Sepertinya ada yang mengganjal.”
Akbar     : “Ada apa, Ibu?”
Ama       : “Kenapa jumlah kalian berkurang? Kemana Dinda? Bukankah tadi bersama kalian saat istirahat?”
Wina      : “Tadi saya melihatnya masuk kok, Bu. Bener! Suer deh! Saya nggak nyembunyiin dia kok. Ibu jangan nuduh saya kayak gitu dong, Bu!”
Akbar     : “Wah, ibu tidak boleh seperti itu, Bu. Tidak boleh menuduh orang sembarang. Betul tidak?”
Ama       : “Sudah, sudah. Ibu tidak menuduh siapapun. Yang lain ada yang tahu kemana Dinda?”
Astrid     : “Sudah, sudah saya yang salah, Bu.”
Farros    : “Jadi kamu tahu Dinda kemana?”
Astrid     : “Tadi aku melihatnya di jalan mengarah ke utara. Mungkin dia hendak ke sekolah lain.”
Akbar     : “Hah?”
Wina      : “Em, maksud Astrid mungkin Dinda ke warnet dekat sekolah lain, Bu. Dia pasti nge-game, Bu! Saya yakin! Percayalah pada saya, Bu! Sudah, saya yakin sekali itu!”
Akbar     : “Belum tentu, Bu. Bisa saja Dinda bermain bersama teman-temannya.”
Farros    : “Sudahlah, kalian tidak perlu berpikiran yang macam-macam.”
Ama       : “Baiklah, saya akan menelepon orang tuanya. (Wina dan Astrid mengangguk) Selamat pagi, Pak. Apakah benar ini orangtua Dinda?”
Andre    :  “Pagi. Iya, benar. Ada apa, ya?”
Ama       : “Begini, Pak. Anak bapak pada jam pelajaran saya tidak hadir di kelas. Padahal teman-temannya berkata bahwa tadi pagi ia mengikuti pelajaran sebelum jam istirahat. Teman-teman sekelasnya menyangka bahwa dia pergi ke warnet. Apakah bapak tahu kemana tepatnya Dinda pergi?”
Andre    : “Apa? Maaf, Buk saya sendiri tidak tahu. Sebab tadi pagi saya sendiri yang mengantarkan Dinda ke sekolah. Baiklah, Bu. Akan saya tegur Dinda saat ia pulang nanti.”
Ama       : “Baik, Pak. Terimakasih. (menutup telepon dan menghadap ke arah murid-murid)
Ya sudah, Anak-anak sekarang kita ulangan bab 3.”
Astrid     : “Apa?! Ulangan?”
Farros    : “Em, saya belum belajar, Bu.”
Akbar     : “Jadi, kita ulangan, Bu? Ya sudahlah.”
Ama       : “Sudah, sudah, siapkan kertas sekarang juga!”

               Ulangan pun berlangsung. Dan satu jam pun berlalu. Sampai akhirya waktu ulangan habis.

Ama       : “Baik, anak-anak sekarang kita bahas. Tukarkan dengan teman kalian!”

               Ulangan pun dibahas oleh ibu guru dan murid-murid. Dan sesuatu mengejutkan sang ibu guru.

Ama       : “Baiklah. Sekarang kita masukkan nilai, ya! Astrid?”
Astrid     : “82, Bu!”
Ama       : “Bagus! Farros?”
Akbar     : “94, Bu!”
Ama       : “Wah, pintar! Pertahankan, ya! Akbar?”
Farros    : “89, Bu!”
Ama       : “Ya, lumayan lah lumayan. Wina?”
Astrid     : “-3, Bu!”  (Akbar, Farros, dan Ama menatap bengong ke arah Wina)
Ama       : “Apa?! Bagaimana bisa?”
Astrid     : “Semua soal yang dijawab Wina salah, Bu. Selain itu, dia menambah 3 soal sendiri. Dan itu juga salah, Bu!”
Ama       : “Kamu kalau kreatif boleh-boleh saja. Tapi, nggak gini juga dong! Wina, jangan ulangi lagi! Kamu mau tahun ini tidak naik kelas lagi seperti tahun kemarin? Malu dong sama adik kamu, Farros. Dia aksel dan nilai dia lebih tinggi dari kamu.” (Wina mengangguk menyesal).
Akbar     : “Heh, Farros! Lihat tuh kakakmu! Lholok banget sih dia!”
Farros    : “Heh nggak usah ngejek gitu dong! Kamu itu yang lholok!”
Astrid     : “Sudah, sudah, aku yang salah, sudah!”
Akbar     : “Heh nggak usah ikut-ikut!”
Astrid     : “Yawes, sorry.”
(Farros dan Akbar adu pukul)

               Tanpa disadari, Farros dan Akbar pun bertengkar di dalam kelas tersebut. Mereka saling pukul memukul satu sama lain. 

Wina      : “Hei, sudah sudah.”
Astrid     : “Kenapa kalian bertengkar di saat jam pelajaran? Kalian memang aneh. Seharusnya jika ingin bertengkar, sepulang sekolah saja. Supaya tak ketahuan ibu guru.”
Ama       : “Sudah, berhenti! Sekarang saya akan melaporkan ke orangtua kalian!” (menelepon Andre) Halo, benar ini dengan Pak Andre?”
Andre    : “Iya benar. Ada apa lagi, ya, Bu?”
Ama       : “Pak, hari ini ketiga anak bapak membuat ulah. Mulai dari Dinda yang membolos, kemudian Wina mendapat nilai -3, dan Farros bertengkar di dalam kelas.”
Andre    : “Saya benar-benar minta maaf, Bu. Nanti saat mereka pulang saya akan langsung menegur mereka. Sekali lagi, saya minta maaf, Bu.”
Ama       : “Baiklah, Pak. Terimakasih.” (menutup telepon)
Andre    : “Haduh, punya anak kok gini semua, haduh.”

               Setelah ibu guru menelepon orang tua Farros dan Wina, ibu guru pun menelepon orang tua Akbar. Tepat setelah itu, bel pulang pun berbunyi. Murid-murid berhamburan keluar dan pulang ke rumah mereka masing-masing.
               Wina pun pulang bersama adiknya, Farros. Di tengah jalan mereka bertemu Dinda.

Wina      : “Dinda! Kamu kemana tadi?”
Dinda     : “Hehe, aku pergi ke warnet main game. Aku nggak mau ikut pelajaran Bu Ama. Habis Bu Ama galak sih. Hehe, jangan bilang ke bapak, ya!”
Wina & Farros : “Huu.. dasar kamu!”

               Mereka pun pulang ke rumah bersama. Namun, saat mereka sampai rumah, ada yang mengagetkan mereka.

(Andre menunggu mereka)
Dinda     : “Eh, ada bapak. Hehe.”
Farros    : “Eh bapak. Tambah ganteng aja nih, Pak.”
Wina      : “Hehe, iya. Senyum dong, Pak.”
Andre    : “GIMANA BISA SENYUM! BAPAK UDAH DENGAR ULAH KALIAN HARI INI! KALIAN INI NAKAL SEKALI!”
Farros    : “Duh, jangan marah dong, Pak!”
Andre    : “GIMANA BAPAK TIDAK MARAH! TUGAS KALIAN TINGGALAH BELAJAR! ITU SAJA!”
Wina      : “Maafin kita, Bapak.” (wajah menunduk menyesal)
Dinda     : “Iya kita menyesal, Pak.” (wajah menyesal)
Andre    : “Bapak hanya ingin kalian belajar rajin, Nak. Tolonglah jangan berulah macam-macam. Bapak ingin kalian pintar. Jika kalian pintar, kalian sendiri yang beruntung. Kalian tentulah mempunyai cita-cita. Bapak ingin kelak kalian sukses. Maka dari itu, belajarlah dengan rajin, Nak!” (wajahnya sedih)
Dinda     : “Iya, Pak. Maafin kita, Pak. Kita janji nggak bakal ngulangin kesalahan kita, Pak.”
Farros    : “Iya, Pak. Kita janji akan belajar rajin. Untuk membuat bapak bangga.”
Andre    : (tersenyum) “Nah, itu baru anak-anak kebanggaan Bapak! Bapak yakin kalian pasti bisa! Kalian janji untuk belajar rajin?”
Dinda, Wina, & Farros : “JANJI!”
Andre    : (wajah panik) “Weladalah! Bapak lupa 2 jam yang lalu bapak memasak nasi. Belum bapak matiin! Waduh!” (berlari ke dalam rumah)
Wina, Dinda, & Farros : “Aduh bapak sayange” (sambil menepuk dahi)

               Akhirnya di dalam hati mereka masing-masing mereka berjanji untuk berubah. Berubah untuk belajar lebih rajin, untuk menjadi anak yang lebih penurut, menjadi anak yang lebih baik. Sebab mereka ingin sukses dan dapat membanggakan bapak mereka.

Senin, 14 Oktober 2013

Antara Teman

Pernah gak sih kalian ngrasain rasanya salah paham diantara temen sama kita? Pastinya sih udah. Rasanya gak enak banget. Pengin ngejelasin ke dia nya susah. Iya gak sih? Trus rasanya tu pengin marah2, maki2 di depan dia, trus nyindir2 di twitter. Hahahaha.. 
Rasanya emang puas ya kalo kayak di atas. Yap, aku juga sependapat tuh. Tapi, cara yang di atas tu malah tambah masalah. Terutama cara yang nyindir di twitter. Kadangkala ada orang lain yang ikut kesindir padahal kita nggak ada maksud.
Caranya sih mungkin aja dengan ngomong baik-baik ke dia. Tapi, ada sih yang kita udah ngomong baik-baik dianya malah gak bisa nyantai. Hahaha... kadang misalkan dia malah nge unfollow kita. Anak jaman sekarang gitu deh kalau lagi marah2an. 
Jadi gimana cara yang bener?
Aku juga bingung. Makanya tadi aku tanya. Kalau caraku sih coba tetep sabar, berdo'a terus sama Allah, trus coba kasih tau yang sebenarnya. Kadang dalam diri mungkin ada hasrat untuk meluapkan, meledakkan api kemarahan itu. Kalau caraku, aku coba tahan.

Oke, itu mungkin tadi sedikit postingan hari ini. Mungkin postingan terakhir di hari ini. Postingan kali ini mungkin emang gak jelas. Ini cuma sedikit curhatan dari aku.

~Astrid Wahyu~

Minggu, 13 Oktober 2013

Arjuna Sang Pahlawan

Sesekali di usapnya peluh di pipi dengan punggung tangannya. Remaja berumur 12 tahun ini seorang pekerja keras. Tak dihiraukan teman-teman lain yang sedang menikmati nasi bungkus beserta segarnya es teh buatan Mbok Jami. Sengaja ia tak menoleh sedikitpun ke arah teman-temannya agar tak tergoda. “Hei, Ar! Berhentilah dulu. Makan bersama kita sini. Mau kau sakit lagi macam minggu lalu?” kata Pakdhe Sadi sambil mengangkat 1 nasi bungkus yang masih utuh di tangan kanan dan es teh jatah Arjuna di tangan kiri. “Tidak usahlah, pakdhe! Saya masih kuat.” Kata Arjuna berbohong. Jujur saja, perutnya sudah keroncongan dari tadi. Namun, baginya sedetik sangatlah berharga. Semua demi ayahnya. Ia bahkan rela berhenti sekolah.
            “Ayolah, Nak! Jangan terlalu dipaksakan. Sakit kau nanti. Kalau kau sakit semua repot. Kasian ayah kau nanti cemas. Sini!” kembali suara itu lagi. Dia menepuk-nepuk bangku kosong di sebelah kirinya. Ingin rasanya Arjuna menolak. Namun, tubuhnya seolah tak mau bekerja sama dengannya. Seluruh anggota badannya seolah berbicara padanya bahwa mereka tak kuat lagi. Memang, sejak tadi pagi Arjuna belum makan hingga kini, jam 12.00. “Baiklah, pakdhe!” kata Arjuna akhirnya. Pakdhe Sadi tersenyum. Dia bergeser sedikit ke kanan sehingga tempat duduk Arjuna lebih luas. Dengan lahapnya Arjuna melahap jatahnya. Cukup 5 menit, yang tersisa hanyalah kertas bewarna coklat, bekas nasi bungkus tadi dan gelas kosong yang masih dingin jika dipegang. Tanpa berpikir panjang lagi, Arjuna bekerja kembali. Dikenakannya topi bundar birunya dan diambilnya cangkul disamping tempat duduknya tadi. Bangunan yang akan dibuat menjadi ruko ini baru seperempat jadi. Bangunan ini akan menjadi bangunan yang cukup luas. Arjuna melanjutkan pekerjaannya. Sesekali diusapnya peluh. Tanpa mengeluh dia terus bekerja hingga adzan maghrib berkumandang.
            Pakdhe Sadi pun bersiap pulang. “Tak pulang kau, Nak?” tanya Paman Sadi. “Iya, sebentar lagi, pakdhe.” Ucap Arjuna. “Ck.. ck.. ck.. janganlah terlalu dipaksakan.” Arjuna hanya tersenyum. “Pakdhe pulang dulu saja.” Paman Sadi hanya menggeleng mendengarnya. “Nanti ayah kau cemas, Nak.” Ucap Pakdhe Sadi. “Ah, iya. Pakdhe benar!” ucap Arjuna menyetujui. Ia jadi merasa bersalah. Astaghfirullah, ayahnya pasti cemas. Apakah ayah sudah makan? Apakah ayah sudah minum obat? Apakah ayah sudah tidur atau masih menungguku? Apakah keadaan ayah sudah membaik? Berbagai pertanyaan tiba-tiba muncul di benak Arjuna. Tak perlu menunggu lama, ia pun beranjak pulang.
            Dalam perjalanan, hatinya galau. Ia tau obat ayahnya habis. Namun, bagaimana? Ia sungguh tak punya uang untuk membelinya. Langkahnya menjadi semakin lambat, hatinya mulai resah, lelah yang ia rasa tadi mulai terganti oleh pemikiran lain.
Sejenak matanya menatap seorang wanita tua dengan baju mewah. Di tangannya tergenggam sebuah dompet. Arjuna sungguh tak memiliki pilihan lain. Sambil tengak-tengok ke sana kemari, ia pastikan sudah aman. Ia berlari dengan kencang ke arah wanita itu dan langsung saja ia menyambar dompet dan langsung berlari kencang. “COPEEETTT...!!!” Wanita itu berteriak. Tidak sedetikpun Arjuna menyempatkan untuk menoleh ke belakang. Gawat! Sekilas Arjuna melihat Pakdhe Sardi. Ia harap Pakdhe Sardi tak melihatnya.
Ia berlari ke gang sempit di ujung jalan. Pepohonan besar menyambutnya kala itu. Tanpa pikir panjang ia bersembunyi di tempat yang ia rasa aman. Kerumunan orang mengikuti Arjuna sampai ke gang itu. Namun, syukurlah tak ada yang melihatnya. Selang beberapa saat, saat keadaan aman dari kerumunan orang, Arjuna keluar dan langsung ke apotik untuk membeli obat ayahnya. Setelah itu, ia pun pulang.
Sampai di rumah, di teras didapatinya Pakdhe Sadi bersama wanita tua tadi tengah berbincang pada ayah Arjuna. Hati Arjuna dag dig dug. Ia ingin kabur namun terlambat. Ayahnya telah melihat dan memanggilnya. Baru beberapa langkah, si wanita tua dan Paman Sadi meninggalkan rumah Arjuna tanpa menoleh ke Arjuna. Sambil menunduk Arjuna menghampiri ayahnya.
“Apa yang kamu mau, Ar? APA?! Beginikah cara kamu? Beginikah ayah mengajari kamu?! Hah?!” Arjuna begitu terkejut sehingga tak mampu berkata, namun ia mencoba. “Ma... ma.. maaf, Ayah. Arjuna tak pernah bermaksud seperti itu. Arjuna hanya bingung bagaimana beli obat untuk ayah. Maaf ayah, Arjuna tak akan mengulanginya lagi.” Ujar Arjuna, tetap menunduk. Ayahnya langsung memeluknya. “Bukan begitu, Ar caranya.” Kata ayahnya sambil menangis. Arjuna tau dia salah. “Arjuna benar-benar minta maaf, Yah.” Ayahnya mengangguk. “Janji?” Arjuna mengangguk pula. Untungnya wanita tua tadi mau memaafkan Arjuna.
Mereka pun masuk. Arjuna memberikan obat tadi ke ayahnya. “Bagaimana keadaan ayah sekarang?” tanya Arjuna sambil menatap iba ayahnya. “Uhuk.. uhuk.. ayah sudah membaik kok.. uhuk..” kata ayahnya. Arjuna kembali menatap iba ayahnya. Sudah sekitar 2 bulan ayahnya sakit batuk. Ini bukan batuk biasa. Batuknya tak kunjung sembuh. Tak tega ia melihat ayahnya terbaring lemah di atas kasur. Yang ia inginkan kini hanya satu, kesembuhan ayahnya.
            Arjuna hanya tinggal bersama ayahnya. Ditemani dengan lampu petromax kecil, mereka hidup dengan damai. Tak pernah sekalipun mereka mengeluh atas kehidupan.
            “Yah, Arjuna tidur dulu, ya! Semoga ayah bermimpi indah.” Ujar Arjuna. Entah mengapa, tiba-tiba saja hatinya gundah. Ia seperti punya firasat buruk. Entah apa. Namun, ia mencoba menghilangkan semua prasangka itu. Ia pun merebahkan diri ke tempat tidur. Ia terlelap dengan diselimuti akan firasat buruk.
            Paginya sekitar pukul 07.00 Arjuna berangkat. “Yah, Arjuna berangkat dulu. Assalamualaikum.” Ucap Arjuna.
            Pukul 07.30 Arjuna sudah sampai di tempat kerjanya. Ada kerumunan orang yang sedang berkumpul.  Ada apa ya? Arjuna masih bertanya-tanya. “Hei, nak! Sini kau. Senang nian hati kau jika kesini.” Ujar Pakdhe Sadi. “Em, wanita semalam itu siapa, Pakdhe?” tanya Arjuna. “Oh, wanita itu saudara pakdhe.”. “Saya minta maafatas kejadian semalam.” Pakdhe Sadi mengangguk sambil tersenyum. “Yang terpenting jangan kau ulaingi lagi perbuatan kau itu.”
Setelah itu, tanpa basa-basi Arjuna menuju ke tempat kerumunan. “Arjuna Satrio Prasetyo...” panggil Pak Lanto, bos Arjuna. Arjuna mengangkat tangannya tinggi-tinggi di tengah kerumunan orang-orang itu. “Ini gajimu.” Ujar Pak Lanto. Arjuna lalu membuka amplop itu secara perlahan. Ha?? Mimpikah ia?? Sadarkah ia?? Rasanya Arjuna seperti melayang. Rp 300.000. Ya Allah, banyak sekali.
            Saat maghrib, Arjuna berlari pulang. Tak sabar rasanya ia memberi tahu ayahnya. Ia ingin segera menepati janjinya. Dengan senyuman ia melangkah ke rumahnya.
            Saat sampai di rumahnya, banyak orang yang datang ke rumahnya. Ada apa ini? Di tengah kerumunan itu, terlihat Kakek Lito, kakek Arjuna, terisak. Arjuna semakin bingung dibuatnya. “Kakek, ada apa ini?” Kakek Lito menatap Arjuna. Apa arti tatapan ini? “Ayahmu. Ayahmu.. me... ninggal.” Kata Kakek Lito sambil terbata-bata. Arjuna menangis sejadi-jadinya. “Arjuna, kamu harus iklas. Ayahmu bukan milikmu sepenuhnya. Ia milik Allah semata. Kamu harus menerima kenyataan. Ayahmu tak akan tenang disana. Biarkan dia pergi menemui Allah. Doakan saja dia. Buat dia tersenyum di surga sana.” Arjuna pun langsung berhenti menangis setelah mendengar ucapan Kakek Lito. “Ini, surat dari ayahmu.” Arjuna pun membaca surat itu.

Arjuna, maafkan ayah. Ayah harus pergi. Arjuna harus mandiri, ya! Kamu harus jadi pahlawan. Berkorbanlah untuk orang yang kamu sayang. Terimakasih atas pengorbananmu selama ini untuk ayah. Maaf, jika ayah belum bisa memberi kamu kehidupan yang layak. Maaf, ayah tidak bisa terus berada di samping kamu. Suatu saat kita pasti akan bertemu lagi. Di suatu tempat yang indah. Percayalah, Nak, Tuhan punya rencana dibalik semua cobaan hidup ini. Terimakasih pahlawan kecilku ......
Perlahan butiran bening jatuh membasahi kertas itu yang lebih dulu membasahi pipi Arjuna. Kembali diusapnya butiran itu dengan punggung tangannya. Selamat jalan, Ayah! Berbahagialah di surga sana bersama ibu. Aku akan jadi seperti yang ayah minta. Aku senang bisa menjadi pahlawan kecil ayah. Yah, mungkin ragamu memang tak lagi disampingku, namun, dihatiku telah terukir sebuah nama yang indah. Sebuah nama yang akan  selalu mengiringiku di setiap langkahku serta akan selalu memberiku teladan. Nama orang yang selalu kupanggil “AYAH”
Selang beberapa hari, setelah kematian ayahnya, Arjuna tinggal bersama kakenya di Kalimantan Utara. Ia selalu melakukan amanah ayahnya dulu.
            
 
  
Hai, kalian yang udah nyempatin baca postingan ini =) Thanks udah mau mampir ke Dunia Astrid. Oke, postingan kali ini aku tampilin sebuah CERPEN yang 100% made in Astrid Wahyu. Rada gimana gitu deh ni CERPEN. Sorry. Tapi kritikan bener-bener aku butuhin yaa untuk kedepannya supaya lebih wow! Okay, semoga kalian enjoy sama CERPEN di atas, ya! ;)

Pengantar Awal

Pagi semuanyaaa.. =)
Disini ada Astrid Wahyu, cukup Astrid dipanggil. Kalian semua ada di dunianya Astrid. Sorry alay.
Blog ini buat seru2an, buat gila2an!  Isinya bisa apa aja. Terkadang abstrak, sorry. Mungkin blog ini beberapa bakalan keisi sama yang namanya CERPEN sama temennya yang satu lagi tuh, si PUISI. Karyaku pastinya ya? Agak sok-sok an gitu deh isinya. Tapi gapapa. Kan blog ini buat gila2an. Bingung apa lagi yang bakal aku tulis.
Oke, yang bisa aku tulis sih ini aja. Abstrak, iya. Gak jelas, tambah iya. Keren, iya banget. Oke, bye semua. 1 lagi, stay cool ya! =D.